Equity World | Wall Street Sudah Ijo Royo-royo, Kabar Baik Buat IHSG?

Equity World | Wall Street Sudah Ijo Royo-royo, Kabar Baik Buat IHSG?

Equity World | Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Rabu (29/6/2022) kemarin kembali berkinerja kurang baik, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan harga harga obligasi pemerintah RI ditutup melemah.

Equity World | Investor Cari Berita Positif, Wall Street Bergerak Datar

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup merosot 0,77% ke posisi 6.942,35 dan menjadikan perdagangan kemarin terkoreksi selama tiga hari beruntun.

Sejak pembukaan perdagangan kemarin, IHSG sudah berada di zona merah. Selang 5 menit perdagangan, IHSG terpantau berbalik arah ke zona hijau dan terapresasi tipis.

Setelah sempat kembali ke level psikologis 7.000 sekitar 10 menit kemudian, IHSG terpantau kembali longsor dan bertahan di zona merah hingga penutupan perdagangan.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 12 triliun dengan melibatkan 19 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 189 saham terapresiasi, 356 saham terdepresiasi, dan 141 saham mendatar.

Investor asing terus melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga kemarin, di mana asing membukukan net sell hingga mencapai Rp 1,01 triliun di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.

Secara terperinci, di pasar reguler, asing net sell sebesar Rp 1,03 triliun. Tetapi di pasar tunai dan negosiasi, asing justru melakukan net buy sebanyak Rp 28,57 miliar.

Di Asia-Pasifik, seluruh bursa utama mengalami koreksi, tidak ada yang ditutup menguat. Koreksi yang paling parah dibukukan oleh indeks Hang Seng Hong Kong yang ditutup ambruk 1,82%, disusul oleh KOSPI Korea Selatan dan Shanghai Composite China.

Sedangkan untuk IHSG berada di posisi keenam dari bursa Asia-Pasifik yang koreksinya cenderung lebih rendah. Indeks Straits Times Singapura menjadi yang paling kecil koreksinya kemarin yakni hanya turun 0,17%.

edangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Rabu kemarin kembali ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sentimen pelaku pasar yang memburuk serta spekulan yang memborong dolar AS membuat rupiah kurang diutungkan.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan kemarin dengan melemah 0,03% ke Rp 14.840/US$. Setelahnya rupiah sempat menguat 0,24% ke Rp 14.800/US$, tetapi setelahnya berbalik melemah.

Di penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di Rp 14.849/US$, melemah 0,09% di pasar spot. Dengan demikian, rupiah melemah dua hari beruntun, setelah menguat cukup tajam di awal pekan.

Sementara untuk mata uang Asia-Pasifik lainnya, secara mayoritas juga mengalami pelemahan. Hanya yuan China dan baht Thailand yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin secara mayoritas mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor cenderung melepasnya kemarin.

Hanya SBN tenor 5, 10, dan 25 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan yield dan penguatan harga.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 5 tahun menurun signifikan sebesar 23,8 basis poin (bp) ke posisi 6,323%, sedangkan yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara turun 0,4 bp ke 7,288%, dan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun melemah 2,2 bp ke 7,556%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sentimen pasar kembali memburuk setelah dirilisnya indeks keyakinan konsumen (IKK) AS versi Conference Board (CB) pada Selasa lalu waktu AS.

IKK AS versi CB pada Juni tahun ini merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya di angka 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.

Indeks ini menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Bila di bawah 100, maka tandanya konsumen sedang tidak percaya diri melihat kondisi perekonomian saat ini hingga beberapa bulan mendatang.

“Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun,” kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (28/6/2022) lalu.

Saat tingkat keyakinan konsumen merosot, ekspektasi inflasi justru meroket. Conference Board menunjukkan ekspektasi inflasi dalam 12 bulan ke depan mencapai 8%, tertinggi sejak data mulai dikumpulkan pada Agustus 1987.

Tingginya ekspektasi inflasi tersebut membuat pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya.

Leave a comment